Ingar-bingar Pemilu 2009 mulai terasa. Tiga puluh empat partai (waoww... banyak banget!) mulai berkampanye. Mereka mulai menjual dagangannya berupa visi dan misi mereka soal negara ini periode 2009-2014 jika partai dan calon presiden dari partai mereka menang dalam pemilu. Namun, di masyarakat, ingar-bingar ini ditanggapi beragam. Ada yang antusias, ada yang biasa-biasa saja, atau ada juga yang antipati.
Dulu, ketika saya kecil, di sebuah kampung di Pulau Nias, setiap pemilu disambut dengan luar biasa. Saya ingat waktu itu partai ada tiga--PPP, PDI, dan Golkar. Namun, Golkar harus diperjuangkan selalu menang. PDI dan PPP nyaris tidak ada yang berani memilih karena "dipaksa" harus memilih nomor dua, tanda gambar Golkar ketika itu. Belakangan saya baru tahu, ternyata memang sistem kepartaian kita waktu itu sangat didominasi oleh rezim Orde Baru dengan otoritarismenya.
Kini, seiring reformasi, masyarakat pun bebas menentukan pilihannya. Tidak ada lagi paksaan untuk memilih partai tertentu saat pencoblosan. Bahkan, tidak memilih pun juga tidak masalah. Walaupun agak bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri di Kompas.com bahwa warga yang memilih golput lebih baik tidak menjadi warga negara Indonesia karena dianggap menghancurkan perundangan dan demokrasi di Indonesia. Padahal, ikut pemilu itu adalah hak bukan kewajiban. Rupanya ibu ini memang sedang "berkepentingan" karena ingin kembali naik. Toh, sekarang kan trennya lagi semua pada naik. Tidak hanya harga BBM yang naik, pelawak juga pada ingin naik. Jabatanya ingin naik dari sekadar pelawak, menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Wah, bisa-bisa DPD menjadi Dewan Pelawak Daerah.
Golongan putih (golput) merupakan istilah yang "laris" terutama pada saat-saat pemilu seperti sekarang ini. Adalah Arif Budiman, seorang tokoh eksponen 66, pada Pemilu 1973 memelopori sikap menjadi golongan putih guna memberi perlawanan terhadap Golongan Karya yang, menurut dia, sudah merongrong tujuan demokrasi di Indonesia.
Apa pun, pertanyaannya adalah apakah hiruk-pikuk Pemilu 2009 ini akan membawa kita (baca: bangsa kita) ke arah yang lebih baik? Atau justru akan sama dengan hari-hari ini yang penuh dengan ketidakmenentuan, para pelaku pemerintahan tertangkap korupsi oleh KPK, jumlah penganggur semakin membeludak, biaya sekolah semakin memberatkan orangtua?
Lalu, apakah Anda ikut menjadi golongan putih? Pilihan ada di tangan Anda. Jujur saya tidak tertarik ikut-ikutan partai.
Dulu, ketika saya kecil, di sebuah kampung di Pulau Nias, setiap pemilu disambut dengan luar biasa. Saya ingat waktu itu partai ada tiga--PPP, PDI, dan Golkar. Namun, Golkar harus diperjuangkan selalu menang. PDI dan PPP nyaris tidak ada yang berani memilih karena "dipaksa" harus memilih nomor dua, tanda gambar Golkar ketika itu. Belakangan saya baru tahu, ternyata memang sistem kepartaian kita waktu itu sangat didominasi oleh rezim Orde Baru dengan otoritarismenya.
Kini, seiring reformasi, masyarakat pun bebas menentukan pilihannya. Tidak ada lagi paksaan untuk memilih partai tertentu saat pencoblosan. Bahkan, tidak memilih pun juga tidak masalah. Walaupun agak bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri di Kompas.com bahwa warga yang memilih golput lebih baik tidak menjadi warga negara Indonesia karena dianggap menghancurkan perundangan dan demokrasi di Indonesia. Padahal, ikut pemilu itu adalah hak bukan kewajiban. Rupanya ibu ini memang sedang "berkepentingan" karena ingin kembali naik. Toh, sekarang kan trennya lagi semua pada naik. Tidak hanya harga BBM yang naik, pelawak juga pada ingin naik. Jabatanya ingin naik dari sekadar pelawak, menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Wah, bisa-bisa DPD menjadi Dewan Pelawak Daerah.
Golongan putih (golput) merupakan istilah yang "laris" terutama pada saat-saat pemilu seperti sekarang ini. Adalah Arif Budiman, seorang tokoh eksponen 66, pada Pemilu 1973 memelopori sikap menjadi golongan putih guna memberi perlawanan terhadap Golongan Karya yang, menurut dia, sudah merongrong tujuan demokrasi di Indonesia.
Apa pun, pertanyaannya adalah apakah hiruk-pikuk Pemilu 2009 ini akan membawa kita (baca: bangsa kita) ke arah yang lebih baik? Atau justru akan sama dengan hari-hari ini yang penuh dengan ketidakmenentuan, para pelaku pemerintahan tertangkap korupsi oleh KPK, jumlah penganggur semakin membeludak, biaya sekolah semakin memberatkan orangtua?
Lalu, apakah Anda ikut menjadi golongan putih? Pilihan ada di tangan Anda. Jujur saya tidak tertarik ikut-ikutan partai.